Sebuah Kisah Tentang Polytron PHS 6A
Saya lebih menyukai mendengar musik dari speaker dibandingkan melalui headphone atau earphone.
Dalam keseharian, kita mendengar suara yang sumbernya entah dari mana dan dipantulkan oleh apa saja hingga tiba di gendang telinga. Begitulah kerjanya speaker hingga terasa lebih alami dibanding menerima suara langsung dari headphone atau earphone yang menyumpal daun atau rongga telinga.
Menggunakan earphone atau headphone membuat suara seakan muncul seketika di dalam kepala yang membuat kita kehilangan arah, terasa lelah jika agak lama dikenakan, dan tentu saja; alasan kesehatan.
Karenanya, saya memiliki Edifier R1280T untuk menemani keseharian menikmati musik. Desainnya klasik minimalis sebagaimana fiturnya yang hanya memiliki line input RCA. Daya keluarannya juga kecil namun mutu suaranya mendapat pujian dari kaum penikmat audio.
Edifier ini cukup setia dan handal menemani selama sekian tahun, namun sebagian badannya mulai menunjukkan “penuaan”, pelapis MDF-nya menggelembung dan mengelupas. Terutama di speaker yang mengandung bagian elektronik. Sepertinya karena panas dari komponen dan mungkin juga lembab dari sekitar ruangan.
Tanpa sengaja menemukan iklan Polytron PHS 6A. Desain dan fiturnya sungguh memesona hingga membersitkan niat dalam hati untuk meminangnya sebagai pengganti Edifier. Polytron bukanlah pemain baru dalam dunia per-speaker-an Indonesia. Reputasinya yang sanggup menghasilkan bass jedag-jedug cukup termasyhur di khalayak ramai.
Namun, PHS 6A menarik karena sepertinya ini speaker pertama mereka yang berupa bookshelf dan mengutamakan suara “flat” kegemaran para audiophile. Mungkin untuk melebarkan pasar menyasar kaum melek komputer yang dalam kesehariannya duduk anteng di depan monitor. Hal lainnya yang cukup membimbangkan hati seperti input digital melalui kabel optik dan USB A dan penguat daya ganda kelas D (well, fancy way to say stereo).
Satu hal yang menghalangi segera meminang speaker ini adalah harganya. Perdana dirilis ke pasar ia dilepas di kelas harga dua jutaan. Out of my league. Sampai akhirnya setelah sekian waktu berlalu, ia turun harga disertai promo dari pasar daring, harganya cukup masuk kantong; di bawah 1,4 juta.
Singkat cerita, sependek pengalaman menggunakannya saya yakinkan mutu PHS 6A adalah memuaskan. Bobotnya berat, mengisyaratkan ia mampu meredam getaran yang tidak diperlukan. Dayanya memadai, tidak kedodoran di tiap besaran volume suara. Koneksi memadai, selalu sedia untuk tiap koneksi gawai yang dimiliki. Saya sendiri menggunakan USB A ke USB A dengan koneksi digital. Tidak menggunakan Bluetooth karena beberapa alasan; (1) lebih yakin dengan koneksi kabel, (2) Bluetooth di Linux ribed, dan (2) speaker ini hanya memiliki codec SBC untuk bluetooth-nya. Di Linux terdeteksi mampu menggunakan SBC-XQ namun ketika dicoba yang terdengar dari speaker hanyalah cuitan.
Untung tak dapat diraih dan malang pun tak dapat ditolak, baru sekitar tiga bulanan berbulan madu mendadak speaker-nya mati total. Hati menduga ia mati terkena tegangan listrik yang melonjak tinggi (power surcharge?) karena kejadiannya tepat setelah listrik PLN byar-pet; mati-hidup-mati-hidup. Didukung bukti lain yakni ternyata stabilizer yang mencatu speaker ini pun ternyata ikut mati.
Service center Polytron lumayan jauh, cuaca juga sering hujan, ditambah tidak ada waktu luang karena belum musim liburan membuat speaker ini terbengkalai. Sialnya (atau mungkin untungnya?) Edifier yang dijajakan di marketplace laku terjual. Jadilah keseharian menikmati sembernya suara dari speaker yang tertanam di monitor.
Memasuki bulan puasa, sekolah pun mendapat jatah libur awal Ramadhan. Enggan menyia-nyiakan akhirnya saya memaksakan diri momotoran membawa speaker ke SC Polytron. Tidak ada hal aneh, hanya diminta menunda speaker dan nanti dihubungi jika berhasil diperbaiki. Sang penerima berujar baru kali pertama menerima speaker model ini, jadi mungkin perbaikan akan lama karena kalau ada modul yang rusak harus menunggu pengiriman dari pusat.
Seminggu tiada kabar dari SC, dan ketika dihubungi ternyata katanya belum selesai karena power supply mati lagi. Sekitar hari ke sepuluh ada pesan WhatsApp yang mengabarkan kalau speaker telah selesai diperbaiki. Nice.
Selang tiga hari berangkatlah menjemput speaker. Seakan telah lengkap segala persiapan, mulai dari tambang untuk mengikat box speaker ke jok motor, juga bekas banner untuk digunakan sebagai pembungkus speaker karena takut hujan di perjalanan. Namun di penghujung perjalanan baru tersadar ternyata nota perbaikan lupa dibawa. Cih. Untungnya pegawai SC bijaksana dan menawarkan untuk membuat surat pernyataan bermeterai saja. Tekor membeli meterai tidak mengapa dibanding harus pulang mengambil nota.
Perjalanan pulang lancar, walau langit tidak cerah namun juga tidak hujan. Setiba di rumah speaker pun dicoba dan berfungsi dengan selayaknya. Nice.
Akan selalu ada hikmah yang bisa dipetik, dalam cerita kali ini adalah tidak mengapa merogoh kantong lebih dalam untuk barang yang jelas layanan purnajualnya. Menyediakan layanan purnajual pastinya membutuhkan biaya yang akhirnya dibebankan ke harga jual. Barang lain mungkin lebih murah karena semata mengandalkan keberuntungan. Kalau awet ya hoki, kalau rusak ya nasib.
Ini mengingatkan saya akan keyboard Logitech Keys yang harganya sebelas dua belas dengan speaker PHS 6A namun tidak memiliki layanan purna jual. Hanya ada garansi penggantian jika barang rusak sampai setahun setelah pembelian. Karena keyboard ini lebih dari setahun setelah pembelian, sudah pasti tidak ada garansi. Mencoba menghubungi dengan niat ingin memperbaiki walau dengan membayar. Namun setelah menjelajah ke sana ke mari tidak jua menemukan pihak yang bertanggung jawab mengenai layanan purna jual. Akhirnya bertanya ke CS toko tempat membeli di marketplace, dan dia menyatakan kalau Logitech tidak menyediakan layanan perbaikan. This shit is quite expensive and there is no after sales sevice? Damn.
Wassalam….